Our Blog

PROBLEM Transaksi Jual Beli Yang Ada Saat Ini

PROBLEM AKAD GANDA DALAM LEASING

Saat ini telah berkembang luas praktek transaksi pembelian motor secara kredit baik yang dilakukan dengan model transaksi leasing ataupun dengan transaksi yang bersifat syariah yang mayoritasnya menggunakan transaksi murâbahah.  Hanya saja luasnya pemakaian kedua jenis transaksi tersebut tidak disertai dengan luasnya pengetahuan masyarakat terhadap keduanya dan hukum Islam tentangnya.

Leasing menurut peraturan yang ada disebut juga Sewa-guna-usaha.  Dalam kep. Menkeu no. 1169/KMK.01/1999 tentang Kegiatan Sewa-Guna-Usaha (Leasing) dinyatakan: ”Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.”  Yang dimaksud dengan opsi adalah hak Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha.



Fakta Akad Ganda dalam Leasing

Salah satu model dari leasing adalah transaksi pembiayaan pengadaan barang modal untuk digunakan oleh lessee (yang menerima pembiayaan leasing) selama jangka waktu tertentu dan diakhir jangka waktu itu pemilikan barang berpindah secara otomatis kepada lessee.  Leasing model inilah yang banyak dilakukan dalam leasing pembiayaan motor, mobil, barang elektronik, furnitur dll, yang diberikan oleh berbagai bank atau lembaga pembiayaan.  Praktek yang biasa terjadi dapat dideskripsikan seperti berikut (misal barangnya adalah motor): Seseorang sebut saja Fulan datang ke lembaga pembiayaan dan ingin membeli motor secara kredit karena ia tidak memiliki uang untuk membelinya secara tunai.  Lalu terjadilah pembicaraan dengan lembaga itu dan dilakukan akad leasing.  Misalnya, jangka waktunya tiga tahun.  Dalam akad leasing itu setidaknya ada transaksi:

    Lessor (lembaga pembiayaan) sepakat setelah motor itu dia beli, lalu dia sewakan kepada lessee selama jangka waktu tiga tahun
    Lessor sepakat bahwa setelah jangka waktu tiga tahun itu dan seluruh angsuran lunas dibayar, lessee (Fulan) akan langsung memiliki motor tersebut.
    Menurut pengertian leasing yang ada, selama jangka waktu tiga tahun itu yaitu sampai seluruh angsuran lunas, motor tersebut adalah milik Lessor.  Setelah berakhir yaitu setelah seluruh angsuran lunas, langsung terjadi perpindahan pemilikan motor itu kepada Lessee (Fulan), artinya motor itu langsung menjadi milik Lessee (Fulan).  Hanya saja dalam praktek yang ada, sejak penyerahan fisik motor kepada Lessee yaitu sejak awal, biasanya STNK motor itu atas nama Lessee (Fulan).  Nama STNK mengikuti BPKB.  Jadi BPKB motor itu juga atas nama Lessee.  Itu artinya motor itu sejak awal adalah milik Lessee (Fulan).
    Ada ketentuan tentang jaminan dimana motor itu dijadikan jaminan secara fidusia untuk leasing tersebut.  Karena itu BPKB motor itu tetap berada di tangan lessor sampai berakhir jangka waktu leasing dan seluruh angsuran lunas.  Konsekuensinya jika lessee (Fulan) tidak sanggup membayar angsuran sampai lunas, motor akan ditarik oleh lessor dan dijual.

Hukum Akad Ganda

Mengamati fakta di atas maka terlihat bahwa dalam transaksi leasing terjadi dua transaksi atau akad dalam satu akad/transaksi.  Yaitu transaksi sewa menyewa (ijârah) dan transaksi jual beli (bay’).  Transaksi yang demikian menyalahi ketentuan syariah.  Ibn Mas’ud menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda:

« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ r عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ »

Rasulullah saw melarang dua transaksi dalam satu akad (HR. Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani)

Makna shafqatayn fî shafqatin wâhidah adalah wujûd ‘aqdayn fî ‘aqdin wâhidin (adanya dua akad dalam satu akad).  Contohnya jika seseorang berkata “saya jual motor saya kepada Anda dengan syarat Anda sewakan rumah anda kepada saya”. Dalam ungkapan ini terjadi dua transaksi karena lafal “saya jual motor saya kepada anda” adalah transaksi pertama dan “anda sewakan rumah anda kepada saya” adalah transaksi kedua, dan kedua transaksi/akad itu berkumpul/terjadi dalam satu akad.  Dalam leasing model ini yang terjadi adalah akad sewa dan akad jual beli.  Akad sewa dalam hal ini jelas, karena sewa itu memang menjadi inti dari leasing.  Adapun akad jual beli hal itu nampak karena pada saat akad leasing di dalamnya disepakati adanya perpindahan pemilikan barang secara langsung/otomatis begitu jangka waktu leasing selesai dan seluruh angsuran dibayar lunas.  Lebih tepatnya lagi dalam leasing model ini terjadi transaksi ijârah dan transaksi bay’ dalam satu akad leasing, terhadap satu barang yang sama yaitu motor, dalam satu waktu yang sama pula.  Jelas hal ini menyalahi hadis Nabi saw di atas.

Di dalam akad leasing model ini, transaksi pengalihan pemilikan barang tersebut (motor) disyaratkan kepada transaksi/akad sewa menyewa dan sebaliknya transaksi sewa menyewa disyaratkan dengan transaksi pemindahan pemilikan itu.  Hal itu karena dalam akad leasing model ini, lessee tidak bisa hanya menyepakati satu transaksi saja.  Lessee tidak bisa hanya menyewa motor itu saja atau membelinya saja.  Tetapi Lessee harus menyewa motor itu sekaligus membelinya.  Fakta seperti itu yaitu menyaratkan akad atau transaksi lain kepada transaksi atau akad yang dilakukan adalah melanggar larangan dari Rasul saw.  Beliau pernah bersabda:

« لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شُرْطَانُ فِيْ بَيْعٍ، وَلاَ رِبْحٌ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَلاَ بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ »

Tidak halal salaf dan jual beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan selama (barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa yang bukan milikmu (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni)

Menurut para fukaha, larangan hadis ini diantaranya mencakup adanya bay’ wa syarth yaitu salah satu pihak dalam akad bay’-nya mensyarat kepada pihak lain akad/transaksi lain baik utang, sewa, kontrak kerja, bay’ lainnya, atau yang lain.  Dalam hadis tersebut Nabi saw menyatakan “la yahillu (tidak halal)”.  Ini adalah qarinah jazim yang menunjukkan bahwa apa yang dilarang itu adalah haram, karena lafal “tidak halal” maknanya adalah haram.  Dengan demikian akad yang di dalamnya terjadi dua transaksi atau disyaratkan akad/transaksi lain, merupakan akad/transaksi yang batil.

*Menepati Janji

MENEPATI JANJI UNTUK MERAIH SURGA

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Seseorang yang terkategori mulia dan terpercaya dalam pergaulan, maka ia akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Seseorang tidak akan meraih predikat mulia dan terpercaya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji adalah menepati janji atau memenuhi amanah

Dalam hukum Islam seseorang diwajibkan untuk menghormati dan mematuhi setiap perjanjian atau amanah yang dipercayakan kepadanya. Sungguh Al-Qur`an telah memberikan perhatian terhadap permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا …

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)

Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janji. Salah satu  bentuk dari menepati janji adalah menepati klausul-klausul dalam akad jual beli yang syar’i.  Apabila seseorang telah berakad untuk membeli barang secara kredit dengan klausul angsuran yang telah disepakati jumlah dan waktu pembayarannya, maka ia harus menepatinya. Jika pembeli tersebut melakukan cidera janji, maka ia dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

“Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)

Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji

Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْن

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)

* Adab Pembeli
ADAB PEMBELIAN DENGAN SISTEM KREDIT

Ada beberapa adab yang harus diperhatikan tatkala seseorang itu melakukan pembelian sistem kredit, yaitu;

    Tidak nekad melakukan pembelian secara kredit kecuali bila bertekad kuat menyelesaikan cicilannya karena memiliki kelebihan penghasilan dari kebutuhan primernya. Karena hukum orang yang membeli kredit adalah hukum orang yang berhutang, yang mana jangan sampai melakukannya kecuali kalau terpaksa.

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain namun dia bertekad untuk membayarnya, maka Alloh akan memudahkan pembayarannya, namun barangsiapa yang mengambil harta orang lain untuk menghanguskannya, maka Alloh akan menghanguskannya.”

Dari Shuhaib Al Khon’ dari Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang berhutang dengan niat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu dengan Alloh sebagai pencuri.”

    Tidak menggampangkan urusan jual beli kredit. Karena fenomena yang berkembang bahwasannya ada sebagian orang yang membeli secara kredit barang- barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Misalnya alat-alat masak modern, baju, almari dan lainnya, padahal dia sudah memiliki yang mencukupi di rumahnya meskipun mungkin lebih jelek. Jangan sampai membeli dengan sistem kredit ini kecuali kalau benar-benar mendesak untuk melakukannya.

Ingatkah bahwa kredit adalah hutang, maka perhatikanlah beberapa nash berikut mengenai hutang;

Dari Abdulloh bin Umar berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung hutang, maka akan diambil kebaikannya, karena di akhirat nanti tidak ada lagi dinar dan dirham.’”

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Jiwa seorang muslim itu tergantung pada hutangnya sampai dia melunasinya.’”

Dan mungkin masih ingat hadits masyhur tentang seorang mujahid yang mati syahid di medan juang harus terhalangi masuk surga karena hutangnya.

Dari Jabir bin Abdillah berkata, “Ada seseorang yang meninggal, maka kami mandikan, kafani, beri minyak wangi lalu kami bawa kepada Rasulullah, lalu kami beritahu beliau agar mensholatinya. Maka beliupun datang berjalan bersama kami. Namun beliau berkata, “Barangkali saudara kalian ini mempunyai tanggungan hutang?” maka mereka menjawab, “Ya, dua dinar49.” Maka Rasulullah pun tidak mensholatinya. Hanya saja ada seseorang yang bernama Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, dua dinar itu tanggunganku.” Maka Rasulullah berkata, “Hutang itu menjadi tanggungan-mu dengan hartamu sendiri dan si mayit terbebas darinya?” Dia menjawab, “Ya” Maka akhirnya Rasulullah pun mensholatinya. Dan setiap kali beliau bertemu dengan Abu Qotadah selalu bertanya, “Bagaimana urusan dua dinar itu? Sampai akhirnya Abu Qotadah berkata, “Sudah saya lunasi wahai Rasulullah.” maka beliau bersabda, “Sekarang barulah mayit itu merasa dingin kulitnya.”

    Mencatat kredit dan ada saksi. Sebagaimana firman Alloh:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kaiian berhutang sampai waktu tertentu, maka tulislah. (QS. Al Baqoroh: 282).

Jangan beralasan saling percaya kemudian tidak mencatat atau ada saksi, bukankah ayat ini turun pada sebuah zaman yang kepercayaan itu masih sangat terjaga? Lalu bagamana dengan zaman ini?

    Melunasi angsuran kredit dengan baik serta tidak rnengulur-ulurnya. Rasulullah bersabda,

Orang yang terbaik adalah orang yang terbaik cara melunasi hutangnya. (HR. Bukhari 2305).

Karena orang yang mampu membayar namun mengulur-ulur waktu pembayarannya adalah orang yang dzolim. Dari Abu Hurairah berkarta, “Rasulullah bersabda,

“Orang kaya yang menunda-nunda waktu pembayaran adalah kezholiman”

PROBLEM AGUNAN

DALAM TRANSAKSI LEASING & ”PEMBIAYAAN MURABAHAH”

Fakta yang berkembang saat ini baik transaksi leasing maupun ”pembiayaan murabahah” menempatkan barang obyek transaksi sekaligus menjadi jaminan/agunan. Selanjutnya sebagai bagian tak terpisahkan dari Perjanjian Pembiayaan itu dibuat Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia, yang intinya penerima pembiayaan memberikan kekuasaan kepada pemberi pembiayaan untuk membuat dan menandatangani Akta Jaminan Fidusia dimana barang yang dijadikan jaminan (agunan) adalah Barang –barang yang dibeli dengan pembiayaan itu sendiri–.  Lalu jika ada barang jaminan tambahan dibuat lagi Perjanjian Pemberian Jaminan Tambahan Secara Fidusia.  Tentang arti Fidusia sendiri di dalam UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia dinyatakan: “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.  Juga dinyatakan: “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”  Jadi jika dikatakan Barang dijadikan Barang Jaminan secara fidusia maksudnya Barang itu dijadikan jaminan tetapi Barang tetap dikuasai atau berada di tangan pemberi jaminan (lembaga pembiayaan).

FAKTA PROBLEM AGUNAN DALAM TRANSAKSI LEASING

Transaksi leasing memberlakukan mekanisme penarikan barang yang dilease (misalnya motor) dari lessee (penerima pembiayaan) ketika lessee tidak mampu membayar angsuran sesuai ketentuan.  Hal ini dilakukan karena menurut ketentuan yang berlaku transaksi pembiayaan leasing dianggap akad sewa, sehingga angsuran disebut sebagai uang sewa.  Oleh karena itu ketika lessee tidak sanggup membayar uang sewa, maka lessor (bank atau lembaga pembiayaan) sebagai pemilik barang (misalnya motor) berhak menarik motor itu dari tangan lessee.  Namun anehnya, ternyata lessor hanya mau mengambil konsekuensi yang menguntungkan ini tetapi tidak menanggung konsekuensi akad sewa lainnya, misalnya, biaya penggantian piston, kerusakan mesin, kebakaran, atau hilang karena dicuri, atau kebanjiran dan hal-hal yang memang bukan karena kesengajaan atau kelalaian lesse.

Alasan yang lebih sering dikemukakan selain akad sewa adalah karena barang (ex : motor) itu dijadikan agunan.  Dalam ketentuan syariah, adanya rahn (agunan) itu disyaratkan adanya dayn (utang).  Dalam konteks leasing jelas hal ini tidak terpenuhi.  Karena jika selama jangka waktu leasing yang berlaku adalah akad sewa, maka uang sewa itu adalah kompensasi terhadap manfaat yang diperoleh penyewa (lessee).  Uang sewa itu disepakati dibayar tiap bulannya.  Karenanya dari aspek ini jelas tidak ada utang lessee kepada lessor.  Sedangkan jika dianggap pada saat leasing itu telah berlaku akad jual beli kredit, maka yang menjadi pertanyaan adalah yang mana harga belinya?  Apakah total seluruh angsuran itu dianggap harganya? Dan apakah karena akan dibayar belakangan sehingga dianggap sebagai utang?  Jika angsuran itu dianggap sebagai harga beli, lantas yang mana uang sewanyaa?  Karena angsuran itu lebih dianggap sebagai uang sewa, maka jelas dalam hal ini tidak ada utang. Jika yang terjadi adalah akad hibah atau hadiah, maka dalam hal inipun sangat jelas tidak ada utang karena akad hibah dan hadiah adalah pemindahan pemilikan harta tanpa kompensasi.  Jika yang dijadikan alasan adanya rahn (agunan) dalam leasing ini adalah komitmen jual beli di akhir jangka waktu leasing dalam bentuk adanya hak opsi bagi lessee, maka tetap saja dalam hal ini tidak ada utang.  Sementara adanya utang itulah yang melegalkan adanya rahn (agunan).  Dengan demikian dalam akad leasing sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang secara syar’i bisa dijadikan alasan legal bagi adanya rahn (agunan).  Karena itu adanya rahn (agunan) dalam akad leasing ini secara syar’i jelas batil.

FAKTA PROBLEM AGUNAN DALAM “PEMBIAYAAN MURABAHAH”

Saat ini berkembang praktek ‘pembiayaan syariah’ yang menerapkan suatu pola bahwa barang yang dibeli secara kredit atau murabahah secara kredit diagunkan sebagai jaminan untuk kredit pembelian barang itu sendiri.  Dalam fakta transaksi yang ada, hal itu terjadi pada sebagian besar keadaan.  Karena umumnya, dalam perjanjian jual beli secara kredit atau perjanjian pembiayaan murabahah, disebutkan bahwa barang (yang dibeli) diserahkan oleh pembeli kepada penjual sebagai barang jaminan.  Sebagai contoh, dalam perjanjian pembiayaan syariah (pembiayaan murabahah) yang diberikan oleh FIF Syariah, pada bagian ketentuan umum disebutkan: “Barang Jaminan adalah Barang dan/atau barang lain yang dijaminkan kepada Pihak Pertama (maksudnya pemberi pembiayaan, pen.) sehubungan dengan kewajiban Pihak Kedua (penerima pembiayaan).” Yang dimaksud Barang dalam kalimat tersebut adalah barang yang dibeli dengan pembiayaan itu.  Kemudian pada pasal 4: Hak dan Kewajiban atas Barang Jaminan, ayat 1.a disebutkan: “Dengan diterimanya Barang oleh Pihak Kedua, Pihak Kedua/Pemberi Jaminan setuju untuk menyerahkan Barang sebagai Barang Jaminan”. Klausul perjanjian pembiayaan syariah dengan model murabahah yang diberikan FIF ini hanya sekedar contoh.

AGUNAN DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

Mayoritas perjanjian pembiayaan baik yang konvensional maupun yang syariah biasanya mengandung ketentuan mengagunkan Barang (barang yang dibeli/dibiayai) untuk transaksi itu sendiri.  Lalu bagaimana pandangan syariah terhadap praktek tersebut? Dalam ketentuan syariat Islam, akad agunan bukanlah akad yang terpisah sama sekali dari akad lainnya.  Akan tetapi akad agunan itu ada terkait dengan adanya akad mu’awadhah yang dilakukan tidak secara tunai.  Allah Swt berfirman:

]وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ[

Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (QS al-Baqarah [2]: 283).

Huruf ‘athaf al-wawu dalam ayat ini kembali kepada ayat sebelumnya.  Yaitu kembali kepada lafal:

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى[

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bermuamalah dengan dayn (tidak secara tunai)… (QS al-Baqarah [2]: 282)

Sehingga makna ayat 283 di atas adalah “jika kalian bermuamalah dengan dayn (tidak secara tunai) dan kalian dalam perjalanan sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah ada barang tanggunan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.  Dalam ayat tersebut Allah menggunakan kalimat syarat “idzâ (jika)”.  Konsekuensi dari kalimat syarat adalah jika syarat itu terpenuhi atau ada maka yang dipersyaratkan akan ada.   Suatu hukum jika dikaitkan dengan kalimat syarat maka itu menunjukkan bahwa jika syarat itu tidak terpenuhi maka hukum tersebut tidak ada.  Pemahaman seperti ini termasuk dalam mafhûm al-mukhâlafah.  Ayat diatas menunjukkan ketentuan hukum yaitu jika ada dayn maka disyariatkan adanya ar-rahn.  Mafhum al-mukhâlafahnya adalah jika tidak ada dayn maka tidak disyariatkan adanya ar-rahn.  Dengan demikian, adanya ar-rahn (agunan) itu disyaratkan harus ada dayn.  Maka jika tidak ada dayn, tentu saja tidak boleh ada ar-rahn (agunan). Artinya kepastian bahwa dayn (utang) itu telah menjadi hak penjual dan sebaliknya menjadi kewajiban atau tanggung jawab pembeli.  Hal itu berarti bahwa jual beli secara kredit atau murabahah secara kredit itu telah sempurna.  Yaitu telah berlangsung akadnya dan terjadi serah terima barang yang dibeli dari pejual kepada pembeli.  Jadi pemilikan atas barang itu telah sempurna berpindah dari penjual kepada pembeli sehingga barang yang dibeli itu sudah sempurna menjadi milik si pembeli.  Itu artinya tasharruf/pengelolaan atas barang itu sepenuhnya berada di tangan pembeli dan penjual tidak punya hak apapun untuk membatasi tasharruf pembeli terhadap barang tersebut.  Penjual tidak boleh membatasi bahwa si pembeli hanya boleh memanfaatkan barang itu dan tidak boleh mengalihkan pemilikannya kepada pihak lain melalui jual beli, hibah atau hadiah.  Jadi kebolehan adanya rahn dalam jual beli secara kredit itu disyaratkan adanya: pertama, kepastian harga barang yang dijual itu telah menjadi hak penjual; dan kedua, kepastian bahwa barang yang dijual itu telah sempurna menjadi milik pembeli. Lalu bagaimana jika barang yang dibeli itu diagunkan untuk utang pembelian barang itu sendiri?

Pengagunan sesuatu itu secara syar’i harus dilakukan pada saat akad dayn dan menjadi bagian dari akad dayn.  Artinya pengagunan barang itu harus dilakukan pada saat akad pembeliannya sebagai bagian dari klausul akad atau dipersyaratkan dalam akad itu.  Itu misalnya jika dikatakan Fulan berkata kepada Anda: “saya jual motor ini secara kredit seharga 15 juta dengan tempo tiga tahun kepada anda dengan ketentuan motor itu menjadi barang jaminannya”.  Itu sama artinya Fulan mengatakan: “saya jual motor ini kepada anda secara kredit seharga 15 juta dengan tempo tiga tahun dengan ketentuan Anda tidak boleh memindahkan pemilikan motor itu kepada pihak lain selama itu”.   Juga sama artinya bahwa kekuasaan atas motor itu belum sepenuhnya dialihkan oleh Fulan kepada Anda.  Karena dengan ketentuan itu Fulan membatasi hak Anda untuk mentasharruf/mengelola motor itu.  Yaitu Anda tidak berhak memindahkan pemilikan motor itu kepada siapapun, kecuali dengan izin dari Fulan.  Jadi ketika motor yang Anda beli secara kredit dari Fulan itu digadaikan lagi kepada Fulan untuk menjamin utang pembeliannya, maka artinya motor itu belum sempurna menjadi milik Anda.  Hal itu juga berarti belum ada kepastian bahwa harga motor itu telah menjadi hak Fulan (penjual) dan menjadi tanggung jawab atau kewajiban Anda (pembeli).  Dengan demikian ketika barang yang dibeli secara kredit itu digadaikan lagi kepada penjualnya, maka ada dua syarat kebolehan rahn sekaligus yang hilang.  Yaitu syarat kepastian harga barang itu menjadi hak penjual dan syarat barang itu telah sempurna menjadi milik pembeli.  Oleh karena itu, barang yang dibeli secara kredit tidak boleh digadaikan kepada penjualnya untuk menjamin utang pembeliannya itu sendiri.  Jika harus ada agunan, maka harus barang lain, bukan barang yang dibeli itu.

Disamping itu jika agunan (sekaligus barang yang ditransaksikan) merupakan syarat dalam akad jual beli itu, maka syarat yang demikian merupakan syarat yang batil.  Hal itu karena syarat tersebut menyalahi muqtadhâ (yang sesuai dengan) akad.  Secara syar’i setelah jual beli sempurna dilangsungkan dan terjadi serah terima barang, maka barang itu telah sempurna menjadi milik pembeli.  Hak mentasharruf barang itu sepenuhnya menjadi hak pembeli itu tanpa ada batasan atau halangan sedikitpun.  Jadi dia sepenuhnya berhak memanfaatkannya, menjualnya, menghibahkan, menghadiahkan dan segala bentuk tasharruf lainnya yang dibenarkan oleh syariat.  Maka jika dalam akad jual beli kredit itu disyaratkan barang yang dibeli itu dijadikan agunan, maka itu merupakan syarat yang membatasi hak pembeli sekaligus menghalanginya secara parsial untuk mentasharruf barang itu.  Jadi jelas syarat itu menyalahi muqtadhâ akad jual beli.  Syarat yang demikian adalah batil.  Barirah pernah minta bantuan Aisyah ra. untuk membayar tebusan dirinya.  Aisyah bersedia asal wala’ Barirah untuk Aisyah.  Namun tuannyua Barirah menolaknya dan mensyaratkan wala’ Barirah tetap untuk dia.  Ketika Rasul mengetahui, Beliau menyuruh Aisyah melakukannya dan mengiyakan syarat tuannya Barirah itu.  Ketika selesai Aisyah melakukannya, Rasul kemudian berpidato:

مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ وَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

Tidak ada artinya seseorang mensyaratkan syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, syarat yang tidak ada didalam Kitabullah adalah batil meski seratus syarat.  Ketetapan Allah adalah paling benar dan syarat Allah adalah paling terpercaya.  Loyalitas itu tidak lain untuk orang yang memerdekakan (HR. Bukhar, Muslim dan Ahmad)

Berdasarkan hadis diatas, maka syarat barang yang dibeli harus dijadikan agunan untuk kredit pembeliannya adalah syarat yang batil karena menyalahi muqtadhâ akad.  Karenanya syarat tersebut tidak berlaku.  Akad jual belinya sendiri sah.

Disamping itu dalam akad rahn, barang yang dijadikan agunan disyaratkan haruslah telah sempurna milik ar-râhin.  Karena jika barang itu bukan milik atau belum sempurna dimiliki oleh ar-râhin, jelas secara syar’i ar-râhin itu tidak memiliki hak tasharruf atas barang tersebut sehingga ia tidak berhak menjual, menghibahkan, menghadiahkan termasuk menggadaikannya.  Rasul saw bersabda:

« لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ »

Jangan engkau jual sesuatu yang bukan milikmu (HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).

Jika syarat pemilikan ini tidak terpenuhi, maka akad rahn itu batil.  Jika ketentuan ini kita terapkan dalam kasus yang sedang dibahas maka jelas tidak terpenuhi.  Pengagunan barang itu dilakukan pada saat akad jual belinya, berbarengan dengan akad jual beli itu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari akad jual beli itu.  Bahwa ketika diagunkan barang itu belum menjadi milik pembeli hal itu nampak dengan jelas.  Karena akad jual beli itu tidak terjadi sebelum atau lebih dahulu dari akad rahnnya, melainkan berbarengan.  Tentu saja pada saat itu barang tersebut belum sempurna menjadi milik pembeli.  Karena akad jual belinya belum sempurna dilangsungkan dan belum terjadi serah terima barang dari penjual kepada pembeli.  Barang yang dijual akan sempurna menjadi milik pembeli jika akad jual belinya telah sempurna dan terjadi serah terima barang.

Dengan demikian jelas bahwa barang yang dibeli secara kredit itu tidak boleh diagunkan untuk akad itu sendiri.  Jika hal itu dilakukan maka akad rahnnya batil.  Sedangkan akad jual belinya, jika akad jual belinya sah, maka akad tersebut tetap sah.

PROBLEM DENDA DALAM TRANSAKSI LEASING

Dalam pola pembiayaan konvensional dikenal denda jika terlambat membayar angsuran.  Sebagian orang mengatakan bahwa denda semacam ini adalah boleh karena itu dianggap sebagai ganti rugi kepada lessor (bank atau lembaga pembiayaan pemberi leasing).  Disamping dengan alasan bahwa pemberlakuan denda dengan tujuan agar lessee (penerima/konsumen pembiayaan) disiplin dalam membayar angsuran leasing dan tidak menganggap remeh pembayaran angsuran itu.

Angsuran dalam akad leasing sesuai dengan peraturan yang ada dan statusnya sebagai pembayaran sewa bulanan.  Namun dalam prakteknya baik dalam anggapan nasabah atau yang sering diungkapkan oleh sales lembaga pembiayaan, uang angsuran itu dianggap sebagai angsuran harga pembelian secara kredit.  Jika dianggap sebagai angsuran harga beli secara kredit, maka harga beli secara kredit itu sendiri merupakan utang (dayn).  Denda atas keterlambatan angsuran itu tidak lain merupakan tambahan pembayaran karena adanya perpanjangan tempo pembayaran.  Ini jelas merupakan riba nasiah.

Seperti disebutkan di atas bahwa sesuai ketentuan peraturan perundangan, status angsuran adalah sebagai pembayaran sewa bulanan. Dalam persepsi ini ketika sudah jatuh tempo pembayaran uang sewa dan ternyata lessee belum membayarnya maka lesse akan terkena denda. Hal ini dibangun dari logika bahwa ketika lesse tidak membayar pada saat jatuh tempo maka dianggap lessor memberikan tenggat waktu.  Logika kemudian dikembangkan bahwa ketika lessor memberikan tenggat waktu, hakikatnya pada saat itu Lessor telah mengutangkan uang sewa itu sampai tempo dibayar oleh lessee.  Maka jika demikian, denda keterlambatan itu merupakan tambahan pembayaran atas utang yang diberikan.  Ini juga jelas merupakan riba nasiah.

Jadi fakta yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa denda keterlambatan tersebut merupakan tambahan atas utang karena adanya tambahan tempo.  Jelas sekali bahwa yang demikian termasuk riba nasiah dan serupa benar dengan deskripsi riba jahiliyah.

Imam ath-Thabari ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 275, diantaranya beliau mengatakan: ”haddatsanî Basyar, ia berkata: haddatsanâ Yazid, ia berkata: haddatsanâ Sa’id dari Qatadah: bahwa riba ahlu jahiliyah: seseorang membeli (sesuatu) sampai tempo tertentu yang disepakati, dan jika telah jatuh tempo dan ia belum memiliki (uang) untuk membayarnya, maka ia menambah (pembayarannya) dan mengakhirkan dari jatuh temponya”.  Berikutnya ketika menafsirkan firman Allah ”dzâlika biannahum qâlû innamâ al-bay’ mitslu ar-ribâ (yang demikian itu karena mereka mengatakan sesungguhnya jual beli itu tidak lain sama dengan riba)”, imam ath-Thabari mengatakan: ”yang demikian itu bahwa orang-orang jahiliyah yang memakan riba, mereka jika telah jatuh tempo pembayaran harta salah seorang dari mereka kepada kreditornya, debitor (yang berutang) berkata kepada kreditor (yang memberi utang): ”tambahkan tempo untukku dan aku tambah hartamu”.

Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy yang diselenggarakan di Mekah 13 Rajab 1409 telah mengeluarkan keputusan dengan suara bulat sebagai berkut: ”seorang kreditor (pemberi utang) mensyaratkan kepada debitor (yang berutang) atau mewajibkan kepadanya untuk membayar sejumlah harta sebagai denda finansial kompensatif tertentu atau dengan nisbah tertentu jika debitor terlambat membayar dari tempo yang ditentukan diantara keduanya, maka syarat tersebut adalah batil, tidak wajib dipenuhi dan tidak halal baik itu merupakan syarat atau yang lain.  Karena itu adalah riba jahiliyah yang al-Quran telah diturunkan dengan membawa ayat yang mengharamkannya.  Karena itu kami berpesan kepada para pemilik perusahaan, lembaga dan kelompok agar bertakwa kepada Allah dan tidak memungut apa yang disebut sebagai denda keterlambatan angsuran setelah mereka mengetahui bahwa itu merupakan riba yang gamblang, dan hendaknya mereka tidak menjatuhkan kaum muslim dalam kebingungan antara agamanya dan realitanya”.

PROBLEM AKAD SEBELUM BARANG SEMPURNA MENJADI MILIK LESSOR

(Pada Transaksi Leasing)

Dalam transaksi model leasing terdapat kesepakatan bahwa lessor (bank atau lembaga pembiayaan) sepakat untuk mengadakan (membeli) barang dan setelah itu disewa oleh lessee (nasabah/konsumen).  Kesepakatan seperti itu dapat dipahami dari ketentuan tentang Leasing yang ada, juga dari berbagai deskripsi tentang leasing di berbagai literatur dan perjanjian leasing.  Itu menunjukkan bahwa, pada saat melangsungkan akad leasing, lessor (bank atau lembaga pembiayaan) sebenarnya belum membeli barang (motor) itu dan tentu saja belum memiliki barang (motor) itu.  Lalu bagaimana mungkin lessor sudah bisa melakukan transaksi menyewakan dan bahkan mengalihkan pemilikan barang (motor) itu?  Fakta demikian jelas-jelas menyalahi ketentuan syariah.

Dalam ketentuan syariah, syarat jual beli, hibah, hadiah ataupun sewa menyewa barang adalah bahwa barang yang dijual, dihibahkan, dihadiahkan atau disewakan haruslah secara sempurna merupakan milik penjual, pemberi hibah, pemberi hadiah atau pihak yang menyewakan (lessor).  Hal itu karena sebab adanya hak tasharruf (pengelolaan) atas suatu harta adalah pemilikan atas harta itu.  Karena itu, jika harta itu bukan milik seseorang atau belum dia miliki tentu saja orang itu tidak memiliki hak apapun untuk mentasharruf harta itu.  Jika dia menjual, menghibahkan, menghadiahkan atau menyewakan harta itu, maka akad jual beli, hibah, hadiah atau sewa menyewa yang dia lakukan adalah batil.  Rasul saw bersabda:

« لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ »

Jangan engkau jual sesuatu yang bukan milikmu (HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).

Lafal “laysa ‘indaka” bisa memiliki dua pengertian. Pertama, yaitu bukan milik kita, artinya milik orang lain.  Kedua, belum sempurna milik kita.  Misalnya barang yang kita beli dan belum diserahterimakan kepada kita.  Lalu bagaimana dengan transaksi leasing yang dilakukan oleh bank atau lembaga pembiayaan?  Apakah motor itu adalah milik mereka pada saat disepakati transaksi leasing?  Dari deskripsi diatas terlihat jelas bahwa barang (motor) itu belum menjadi milik Lessor pada saat akad leasing dilangsungkan, karena lessor belum membelinya dairi suplier/dealer.

Ditambah lagi, lembaga itu sesuai namanya adalah lembaga yang menyediakan pembiayaan.  Begitu pula bank.  Keduanya, tidak memerankan diri secara riil sebagai penjual sebagaimana penjual umumnya.  Terlebih dalam peraturan yang ada, bank atau lembaga pembiayaan memang tidak diijinkan melakukan usaha riil, tetapi hanya diijinkan menyediakan pembiayaan.  Jadi bank atau lembaga pembiayaan itu tidak diijinkan melakukan bisnis jual beli layaknya penjual atau pedagang.  Artinya, bank atau lembaga itu tidak seperti penjual umumnya yang membeli barang dan dipajang di show roomnya untuk dijual.  Karena itu ada dugaan kuat –kalau tidak malah pasti- bank atau lembaga itu melakukan transaksi leasing terlebih dahulu dan baru membeli motor itu dari dealer.  Hal itu lebih dikuatkan lagi karena jika calon nasabah datang ke bank atau lembaga itu dan ingin kredit motor serta ingin melihat fisik motor itu sebelum melakukan negosiasi atau transaksi, hal itu tidak bisa dilakukan.  Kenapa? Tidak lain karena bank atau lembaga memang belum memiliki motor itu.  Biasanya yang diperlihatkan adalah brosur dari dealer yang menjalin kerjasama dengan bank atau lembaga itu.  Itu menunjukkan memang motor itu belum dibeli oleh bank atau lembaga.  Untuk “menutupi” fakta tersebut, biasanya lembaga pembiayaan memiliki meja khusus di tempat dealer.  Jika pembeli datang ke dealer, maka jika pembelian itu kontan langsung berhubungan dengan dealer, sedangkan jika kredit ditunjukkan ke meja lembaga pembiayaan.  Lalu kenapa jika pembeliannya secara kredit tidak langsung berhubungan dengan dealer sebaliknya harus berhubungan dengan lembaga pembiayaan, padahal dealer adalah penjual motor itu?  Ini lebih menguatkan lagi bahwa lembaga pembiayaan itu tidak membeli motor sebelum melakukan transaksi leasing.  Atau dengan kata lain, lembaga pembiayaan melakukan transaksi leasing terlebih dahulu dengan nasabah, baru ia membeli motor itu ke dealer, dan setelah itu menyerahkan motor itu kepada nasabah.

Kalaupun dikatakan bahwa bank atau lembaga telah membeli motor itu dari dealer sebelum melakukan transaksi leasing, maka harus diingat bahwa transaksi pembelian itu haruslah sudah sempurna.  Artinya motor itu secara sempurna telah berpindah pemilikannya kepada bank atau lembaga.  Itu artinya harus sudah terjadi akad jual beli secara sempurna antara bank atau lembaga dengan dealer dan telah terjadi serah terima dari dealer kepada bank atau lembaga.  Dan hal itu harus berlangsung setiap kali dilakukan transaksi sebuah motor.  Jadi bukan sekedar kesepakatan kerjasama bahwa bank atau lembaga pembiayaan akan mengambil motor dari dealer itu jika ada nasabah yang mengajukan leasing.

Jadi dapat diduga kuat –atau malah mungkin bisa dipastikan– ketentuan syariah bahwa motor itu harus sudah menjadi milik lessor (bank atau lembaga pembiayaan) secara sempurna tidak terpenuhi.  Itu artinya lessor (bank atau lembaga pembiayaan) menyewakan dan mengalihkan pemilikan motor sebelum memilikinya.  Tentu saja hal itu menyalahi ketentuan syariah Islam diatas.  Karena itu dari sisi ini, akad leasing tersebut adalah akad yang batil.
Sumber: assalam-center.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KREDIT SESUAI SYARIAH Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Gambar tema oleh richcano. Diberdayakan oleh Blogger.